Peran Pengamatan & Penalaran dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan


Observatorium Ilmuwan Muslim

Assalamualaikum wr. wb,

"Ilmu Pengetahuan adalah laksana binatang buruan, dan penulisannya adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh". (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXX, hal.196, Yayasan Lamilojong, Surabaya, 1979)

Dari pernyataan Buya Hamka diatas, ... terbesit makna yang dapat kita pahami bahwa, ilmu pengetahuan sangatlah bermanfaat jika dikendalikan, ... dalam hal ini adalah nilai-nilai yang melandasi bagi ilmuwan untuk mengembangkannya. Namun, ... bagaimanapun juga pengembangan ilmu tidak dapat begitu saja bebas nilai.

Ada asumsi, bahwa Al-Qur'an merupakan penghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Anggapan ini muncul, ketika ilmuwan dihadapkan dengan sebuah pertanyaan, .. "apakah ilmu pengetahuan itu bebas atau terikat oleh suatu nilai?".

Al-Qur'an, memang bukanlah buku ilmu pengetahuan, ... namun Al-Qur'an penuh dengan isyarat tentang ilmu pengetahuan, ... untuk itu dapat dipahami, bahwa hakekat ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran (secara ilmiah). Padahal dalam Al-Qur'an hakikat ilmu pengetahuan, bukan semata-mata untuk mencari kebenaran secara ilmiah saja, melainkan juga untuk mendapatkan petunjuk (hudan), tanda-tanda (ayat), kebijaksanaan (hikmah) dan rahmat (rahmah).


Berangkat dari pertanyaan tersebut diatas, ... mari sama-sama kita coba bahas tentang "peranan pengamatan dan penalaran dalam pengembangan ilmu pengetahuan" , ... untuk membuktikan bahwa Al-Qur'an tidak menghambat, tetapi justru mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Secara umum dapat dipahami, bahwa pengamatan adalah hasil tanggapan dari indera terutama mata terhadap obyek tertentu sehingga menimbulkan kesan pada rasio (nalar) tentang pengertian. Indera merupakan salah satu alat untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan.

Firman Allah, " Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikanmu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur". QS. 16:78.

Dalam ayat diatas dijelaskan, bahwa ada satu kegaiban dan keajaiban yang dekat pada manusia. Manusia mengetahui fase-fase pertumbuhan janin, tetapi manusia tidak mengetahui bagaimana jalannya proses perkembangan janin yang terjadi dalam rahim itu sehingga mencapai kesempurnaan. (Muhammad Fuad, Abd. Al-Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfas Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Fikr li al-Taba'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, Beirut, 1980, hal.121-123) .

Selanjutnya, ... diantara indera-indera eksternal hanya pendengaran dan penglihatan yang disebut, karena keduanya merupakan alat-alat utama yang membantu seseorang dalam memperoleh pengetahuan akan dunia fisik. (Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur'an (The Holy Qur'an and The Science of Nature), Terjemahan Agoe Effendi, Mizan, Bandung, 1991, hal.83)

Dalam proses ini terdapat rahasia hidup yang tersembunyi, Allah Ta'ala mengeluarkan manusia dari rahim ibu, ... pada waktu itu ia tidak mengetahui apa-apa. Allah telah memberikan potensi pada setiap manusia berupa kemampuan untuk menggunakan inderanya, ... dan dengan alat yang diberikan Allah kepada manusia inilah, .. manusia mulai dapat mengenal alam fisik di lingkungannya, ... sebagai kelengkapan dari kedua indera, ini Allah juga telah pula memberikan hati atau kadang disebut dengan budi (af-idah) atau sering disebut juga fu'ad.

Untuk memperjelas pemahaman terhadap indera-indera ini, dapat kita cermati ayat berikut :

Firman Allah, "Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang didalam dada". (QS. 22:46)

Masih banyak ayat-ayat Al-Qur'an lain, yang menjelaskan tentang hati, antara lain dalam (QS. 7:179). (QS. 9:87), (QS. 50:37) dan (QS. 16:108).

Nah, ... bila kita rangkum potensi manusia untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan, ... adalah berupa :

1. Indera eksternal, atau yang biasa dikenal dengan panca indera, ... dimana dengan indera ini pengamatan dan ekperimen dapat dilakukan;

2. Intelektual, atau biasa disebuat dengan rasio (logika), ... dan tentunya yang tidak dikotori dengan sifat-sifat buruk yang menguasai kehendak-kehendak dan khayalan-khayalan, serta bebas dari peniruan buta (taqlid);

3. Inspirasi, hal ini berada diluar dari kemampuan nalar manusia, karena datangnya atau kehadirannya bisa begitu saja datang atau secara tiba-tiba saja terbesit di dalam benak kita (tanpa proses pembelajaran) .

Ketiga potensi yang ada pada manusia diatas, saling menunjang antara yang satu dengan yang lain. Indera untuk mengamati atau observasi terhadap gejala-gejala alam, ... kemudian rasio untuk berfikir tentang rahasia di balik fenomena alam yang beaneka ragam, dan imajinasi untuk mengembangkan hasil- hasil penemuannya, ... dan dari hasil penemuan-penemuan yang diperolehnya itu, ... selanjutnya diolah, diteliti lebih lanjut, dan yang kemudian diterapkan menjadi teknologi seperti yang ada sekarang ini, ... salah satunya adalah apa yang sedang kita pergunakan sa'at ini (internet).


Jadi jelaslah kiranya dari uraian-uraian diatas, bahwa Al-Qur'an memberikan peluang kepada manusia untuk menggunakan pengamatan dan penalarannya untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Mansur Malik mengemukakan konsep penalaran ilmiah dalam Al-Qur'an, sebagai berikut (Mansur Malik, Penlaran Ilmiah dalam Al-Qur'an, Disertasi, IAIN, Jakarta, 1989) :

Pertama, Penalaran ilmiah dalam Al-Qur'an, ialah upaya untuk menarik pada suatu kesimpulan, ... adakalanya melalui kerja-sama antara akal (rasio) dengan panca indera, atau hanya dengan mempergunakan daya akal dengan cara menghubungkan pengertian-pengerti an yang terkait dalam suatu hal.

Kedua, Alasan-alasan yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan ialah ;
Alasan-alasan yang bersifat induktif, artinya dari fakta-fakta yang khusus ditarik pada kesimpulan yang umum.

1. Alasan yang bersifat deduktif, yakni penafsiran kesimpulan berdasarkan ketentuan umum yang telah diakui kebenarannya.

2.Al-Qur'an juga meng-isyaratkan diperlukannya penalaran yang bersifat analistis, yaitu penalaran mengenai obyek pikir atas bagian untuk mengenal hakikat, sifat, atau peran masing-masing bagian tersebut. Dengan kata lain, hakekat; menggambarkan esensi pokok keberadaan suatu wujud: ciri, sifat dan fungsi dari wujud tersebut baik secara internal maupun wujud eksternal. (C.A. Qadir (penyunting) Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Terjemahan Bosco Carvalo, dkk, Yayasan Obor, Jakarta, 1988., hal. vii).

Ketiga, disamping diperlukan penalaran kualitatif terhadap fenomena sosial, Al-Quran meng-isyaratkan pula penalaran kuantitatif berkenaan dengan fenomena alam.

Keempat, Al-Qur'an menekankan perlunya dicapai kualitas tertinggi hasil berfikir yang disebut dengan al-haqq (kebenaran), yakni dapat ditemukan atau dibuktikannya kebenaran suatu informasi atau ajaran, teori atau hukum, maupun hikmah penciptaan dan pengaturan alam.

Kelima, Guna menguji suatu kebenaran, Al-Qur'an menyuruh melakukan verifikasi dan dengan ilmu yang dimiliki, dan mendorong untuk membuat prediksi.

Keenam, Seiring dengan petunjuk-petunjuk bagaimana cara berfikir yang baik, Al-Qur-an juga mengingatkan kesalahan-kesalahan dalam berfikir, terutama kesalahan yang disebabkan subyektifitas pemikir atau karena faktor penginderaan kita yang acapkali keliru atau terbatas kemampuannya.

Untuk itu, patutlah kita menyadari betapa lemah dan terbatasnya potensi inderawi kita, dan begitu pula halnya dengan rasio yang juga tidak mampu menangkap hal-hal diluar jangkauannya, maka satu-satunya cara adalah dengan bantuan petunjuk Allah Ta'ala berupa wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.

Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, wahyu memegang perananan penting, manakala manusia biasa tidak lagi mampu mengungkap kebenaran melalui pengamatan maupun penalaran, dikarenakan ada beberapa hal yang memang tidak mungkin indera atau rasio (logika) dapat mengungkapkannya.


Oleh karena manusia biasa tidak bisa atau tidak dapat menerima wahyu sebagaimana para Nabi dan Rasul, maka diturunkanlah Al-Qur'an melalui Rasulullah Muhammad s.a.w, sebagai "wahana konsultatif" untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Dengan keyakinan bahwa kebenaran Al-Qur'an adalah "mutlak"
, namun untuk mencapai kebenaran tersebut manusia memerlukan upaya bukan hanya orang perorang, dan disamping itu juga bilamana perlu, ... dengan menggunakan pendekatan "inter-disipliner" , artinya untuk memecahkan persoalan hidup manusia baik masa kini maupun untuk masa yang akan datang, terutama berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Coba perhatikan alasannya mengapa kita memerlukan juga pendekatan inter-disipliner? , ... ada isu menyesatkan perihal berkembangnya cerita bahwa dewasa ini, dunia kedokteran di Barat dapat menghidupkan jenazah, juga tentang media elektronik yang telah berhasil menangkap bayangan orang yang telah mati ratusan tahun yang lalu. (DR. Imam Syafi'ie, Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Al-Qur'an, Ed.1,cet.1-Yogyakar ta:UII Press,2000,hal. 138-139).

Hal ini merupakan tugas manusia, terutama umat Islam yang telah merindukan kejayaan kembali dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. sebagaimana yang telah pernah dicapai pada zaman keemasannya, (lih. The Golden Age of Islam. pen)

Bila wahyu itu merupakan petunjuk langsung yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, maka praktis para manusia biasa (termasuk ilmuwan), tidak mungkin mendapatkan wahyu, tidak juga orang-orang yang mengaku telah memperoleh wahyu, seperti apa yang akhir-akhir ini berkembang ditengah masyarakat kita yang jelas-jelas menyesatkan. Alasannya jelas dan tegas, bahwa Allah ta'ala tidak mengutus Nabi atau Rasul-Nya lagi, setelah Rasulullah Muhammad s.a.w, yang adalah penutup para Nabi.

Dengan demikian dapat kita simpulkan berdasarkan ayat-ayat yang telah kita singgung diatas, bahwa wahyu memegang peranan penting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bila menghadapi persoalan yang belum dapat atau tidak bisa dipecahkan oleh kemampuan indera maupun rasio. agar manusia tidak tersesat karena hanya mengandalkan kemampuannya, maka wahyu merupakan penuntun ke jalan yang benar.

Untuk itu, .... orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan penghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, adalah tidak benar!, dan menghadapi orang-orang yang menyebarkan alasan itu, hendaklah kita sebagai umat Islam harus berhati-hati menyikapinya, ... dan ironisnya isu tersebut justru di-hembuskan ditengah-tengah atau di-kalangan para ilmuwan Muslim, ... yang jelas maksudnya agar para ilmuwan Muslim itu di-dalam melakukan kajian ilmiahnya berlepas diri dari Al-Qur'an, yang sebenarnya justru melindunginya dari kesesatan berpikir.

Atas dasar sekedar kenyatan tersebut diatas, maka ada beberapa saran yang semoga bermanfaat :

Sudah sa'atnya para ilmuwan menyadari sepenuhnya, bahwa betapapun hebatnya manusia sehingga dapat menguasai alam ini. pada hakikatnya tetap adalah mahluk yang lemah yang penuh denga keterbatasan, untuk itu dengan kemajuan yang diperoleh hendaknya tidak untuk menyombongkan diri serta menjauhi Sang Maha Pencipta Seluruh Alam Semesta.

Telah dikemukakan, bahwa Al-Qur'an bukanlah penghambat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan Al-Qur'an sebagai nara sumber yang dijadikan landasan berpikir oleh ilmuwan muslim pada masa lalu. Karena itu, hendaknya mendapat perhatian yang serius untuk dikaji kembali bukan hanya ayat-ayat tersurat saja, melainkan juga pada ayat yang tersirat berupa fenomena alam dan isinya.

Demikian sekedar kajian kita dalam artikel kali ini, dan apabila ada yang salah itu pasti datangnya dari saya, untuk itu saya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.

(Disusun dari berbagai sumber oleh : H. Umar Hapsoro Ishak)

Wassalamualaikum wr. wb,

Umar - Tukang Nasi
Kebenaran