Pemimpin yang Mengendalikan Hartanya

Ketika mendengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, “Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?”

“Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya,” seseorang menjawab.

Ummul Mukminin berkata lagi, “Kafilah yang telah menyebabkan semua ini?”

“Benar, ya Ummul Mukminin. Karena ada 700 kendaraan.”

Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya jauh menerawang seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya.

Kemudian ia berkata, “Aku ingat, aku pernah mendengar Rasululah berkata, `Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.”

Sebagian sahabat mendengar itu. Mereka pun menyampaikannya kepada Abdurrahman bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskan, ia segera melangkahkan kakinya ke rumah Aisyah.

“Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa.” Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Maka dengan ini aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah.”

Dan dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya. Sebuah infak yang mahabesar.

Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya. Bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai bukti, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkan harta kemudian menyimpannya. Ia mengumpulkan harta dengan jalan yang halal.

Kemudian, harta itu tidak ia nikmati sendirian. Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat ikut juga menikmati kekayaan Abdurrahman bin Auf.

Saking kayanya Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah berkata, “Seluruh penduduk Madinah bersatu dengan Abdurrahman bin Auf. Sepertiga hartanya dipinjamkan kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada mereka.”

Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya jika tidak ia pergunakan untuk membela agama Allah dan membantu kawan-kawannya. Adapun, jika ia memikirkan harta itu untuk dirinya, ia selalu ragu saja.

Pada suatu hari, dihidangkan kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk berbuka puasa. Memang, ketika itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia malah menangis dan berkata, “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai seorang syahid. Ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Dan jika ditutupkan kedua kakinya, terbuka kepalanya.”

Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan dengan suara yang juga masih terisak dan berat, “Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir telah didahulukan pahala kebaikan kami.”

Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa hartanya hanya akan memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering sekali, akhirnya menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mengambil harta yang haram sedikitpun.

Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama Abdurrahman bin Auf menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setalah makanan diletakkan di hadapan mereka, tiba-tiba ia kembali menangis. Sontak para sahabat terkejut. Mereka pun bertanya, “Kenapa kau menangis, wahai Abdurrahman bin Auf?”

Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab. Ia menangis tersedu-sedu. Sahabat benar-benar melihat bahwa be¬tapa halusnya hati seorang Abdurrahman bin Auf. Ia mudah tersentuh dan begitu penuh kekhawatiran akan segala apa yang diperbuatnya di dunia ini.

Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf menjawab, “Rasulullah Saw. wafat dan belum pernah beliau berikut keluarganya makan roti gandum sampai kenyang. Apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan?”

Jika sudah begini, bukan hanya Abdurrahman bin Auf yang menangis, para sahabat pun akan ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah tersentuh, dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap ridha Allah. (sa)


Posted : H. Umar Hapsoro Ishak

Sumber: eramuslim.com

Berbagai komentar pada tulisan di Kompasiana ini tentang “Ketika Banyak Orang Bersumpah”. Seperti juga pada wall maupun yang masuk di inbox facebook saya, yakni tentang ’sumpah’, maupun “tanda-tanda orang-orang munafik,” menggelitik saya untuk meneruskan topik ini. Namun, kali ini penulis mencoba lebih banyak mengangkatnya dari sudut agama. Pasalnya, khotib shalat Jum’at tadi di Masjid Al-Hidayah, Bidakara, berkhotbah juga dengan topik ini.

Amat memperihatinkan memang, bagi mereka-mereka yang belum tentu menjalankan ajaran Islam dalam praktek kehidupannya sehari-hari, bahkan tidak mau menggunakan syariah Allah dalam aturan kehidupannya, apalagi memperjuangkan tegaknya ajaran agama-Nya, tapi ketika kesandung perkara, tiba-tiba mereka rame-rame memperlihatkan simbol-simbol agama. Mereka bersumpah dengan simbol-simbol agama bahkan mengucapkan lafal Allah, sungguh sangat ironis.

Apa itu sumpah? Bagaimana Islam mengatur sumpah? Dengan apa bersumpah? Apa dampak bagi orang yang sumpah palsu?

Sumpah dalam bahasa Arab ialah al-Aiman yang merupakan jamak dari kata al-Yamin. Arti asalnya adalah tangan kanan, karena untuk bersumpah masyarakat Arab biasanya mengangkat tangan kanan mereka. Secara istilah, sumpah berarti menguatkan perkara yang disumpah dengan menggunakan nama Allah, atau salah satu dari nama-nama Allah, atau salah satu dari sifat-sifat Allah.

Begitu sakralnya perkara sumpah ini, sehingga seseorang tidak boleh main-main dalam bersumpah apalagi berdusta atau sumpah paslu, sekalipun terhadap perkara yang amat kecil. Rasulullah Saw bersabda:

“Barangsiapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya (yang dusta), maka sesungguhnya Allah mewajibkan baginya masuk neraka dan mengharamkan baginya syurga.” Seseorang bertanya: “Sekalipun terhadap sesuatu yang remeh ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “(Ya), sekalipun sebatang kayu arak (yang digunakan untuk bersiwak).” (HR. Muslim)

Sungguh besar resiko dan ancaman bagi orang yang berdusta dalam sumpahnya, oleh karena itu Islam mengingatkan umatnya agar hati-hati dalam bersumpah dan jangan biasakan diri bersumpah. Jangan bersumpah tentang ini dan itu tanpa keperluan. Kebiasan bersumpah akan menyebabkan orang merasa tidak bersalah ketika berdusta dalam sumpahnya sehingga akhirnya terjebak dalam ancaman hadis di atas. Bahkan Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang selalu bersumpah, lagi hina.” (QS. Al-Qalam:10)

Rahasia pemerintahan yang kuat atau masyarakat yang maju adalah terletak pada penegakan hukum yang adil. Sudah menjadi bukti sejarah, bahwa kehancuran umat-umat terdahulu, adalah karena tidak adanya penegakan hukum yang adil. Jika kejahatan itu diperbuat oleh penguasa, orang “kuat” atau berduit, padahal itu kejahatan besar, bahkan merugikan masyarakat banyak, hukum tidak ditegakkan. Namun jika yang berbuat kesalahan itu orang biasa, masyarakat lemah, meskipun kesalahannya kecil, segera hukum ditegakkan, dengan seberat-beratnya. Rasulullah Saw. bersabda:

“Wahai manusia!, ketahuilah bahwa kehancuran umat terdahulu adalah karena mereka tidak menegakkan hukum dengan adil. Jika yang mencuri –berperkara- dari golongan terpandang, mereka biarkan. Namun jika yang mencuri itu orang yang tidak punya, mereka secara tegas menegakkan hukum. Demi Allah, jika Fatimah putri Muhammad –anak beliau sendiri- mencuri, pasti saya potong tangannya.” (HR. Bukhari)

“Demi Allah” sebagai sebuah ucapan yang mengawali sumpah sering kita dengar untuk membuktikan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar. Sesungguhnya, Allah Ta’ala melarang sumpah dijadikan sebagai alat menipu, “Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu diantaramu yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya dan kamu rasakan kemelaratan (didunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan bagimu azab yang besar.” (QS. An-Nahl :94).

Dari Abu bakar r.a, Rasulullah Saw bersabda: “Maukah kalian semua jika kuberitau tentang dosa paling besar diantar dosa-dosa paling besar ?” kami menjawab ” sudah tentu wahai Rasulullah.” lalu, sambil berbaring beliau Saw bersabda: “Pertama, syirik kepada Allah, lalu durhaka kepada orang tua…” lalu tiba-tiba Rasulullah duduk tegak dan bersabda: “yang ketiga sumpah palsu dan saksi palsu. “Rasulullah terus mengulang-ulang yang ketiga ini sampai para sahabat gemetar dan berkata: “seandainya Rasulullah diam” karena takutnya para sahabat mendengarkan kata sumpah dan saksi palsu yang diulang terus menerus oleh Rasulullah.” (Hr. Bukhari Muslim). Betapa beratnya dosa dengan sumpah palsu apalagi yang merugikan orang lain.

Kalau pemerintah dan masyarakat tidak ingin hancur sebagaimana umat terdahulu, maka tegakkan hukum, tanpa pandang bulu. Siapapun yang terbukti berbuat kejahatan, tindak pidana, maka hukum harus ditegakkan, sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dengan cara yang adil. Allah swt. berfirman: “Apabila kalian menghukumi suatu perkara di antara manusia, maka hukumilah dengan cara yang Adil.” Allahu a’alam.

Oleh karena itu marilah kita benar-benar memelihara lidah kita dari penyakit-penyakit yang membahayakan. semoga tulisan ini bermanfaat.

Salam,

H. Umar Hapsoro Ishak

Ketika Banyak Orang Bersumpah

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya belum pernah menerima suap atau memaksa orang lain untuk memberikan suap atau pemerasan,” ujar M Jasin dalam petikan sumpahnya yang dilakukannya saat siaran langsung di TVone, Minggu (08/11) malam. Ia tidak lupa membacakan beberapa kalimat doa dalam bahasa Arab dalam sumpahnya tersebut. Seperti yang ditulis dalam artikel “Dibawah Alquran, M. Yasin Bersumpah Tak Terima Suap atau Memeras,” di Kompas.com, (Minggu, 08/11/09).

Tiga hari hari sebelumnya, Kom.Jen.Pol. Susno Duadji, bersumpah di hadapan Komisi III bidang hukum DPR RI, bahwa ia tidak pernah menerima uang terkait kasus Bank Century, “Lillahita’ala..saya tidak pernah terima uang terkait (kasus) Century,” ujar Susno, Kamis (5/11) malam.

Pernyataan mengejutkan yang dilontarkan Kombes Pol Wiliardi Wizard, kemarin (10/11) saat memberikan kesaksian dalam sidang terdakwa Antasari Azhar, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Wiliardi juga bersumpah, “Demi Alloh saya bersumpah, ini adalah skenario yang buat Direktur, Wakil Direktur, Kabag, kasat,” Belum lagi pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh orang-orang yang diduga terlibat kasus suap, ketika dimintai konfirmasi/kesaksian sehubungan dengan kasus suapnya, hampir semuanya selalu disertai sumpah. Kitapun diajak untuk berpikir, …. benarkah sumpah mereka itu? Lantas, apakah orang-orang yang bersumpah atas nama Allah dengan lafazh yang bervariasi, semisal “Demi Allah” dan lafazh-lafazh lainnya, Dilarang dalam agama?

Tidak dapat disangkal lagi bahwa, banyak bersumpah akan mengakibatkan pelecehan terhadap kedudukan Tuhan, Asma dan SifatNya, sebab si orang yang bersumpah ini telah mengagungkanNya terhadap urusannya tersebut. Maka, bilamana dia berdusta, itu artinya dia telah melecehkan Asma`Allah dan tidak lagi memuliakanNya. Tentunya, hal ini menafikan kesempurnaan tauhid. “Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, dia harus jujur (benar).”
Hasanudin AF, Guru Besar Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengatakan, bahwa fenomena bersumpah atas nama Tuhan, sebagai tanda adanya penyakit di masyarakat. Makin banyaknya orang yang terjerat kasus hukum dan bersumpah atas nama Tuhan boleh-boleh saja. Tetapi, ketika banyak yang melakukannya, itu suatu pertanda. Bahwa, suatu masyarakat sedang sakit mental dan moralnya.

Hasanudin AF mengungkapkan pendapatnya saat dimintai pandangan tentang banyaknya orang-orang bersumpah atas nama Tuhan di depan publik. Terutama, ketika banyak kasus-kasus hukum diungkap ke media massa. ”Di dalam Islam, sumpah itu ada ajarannya. Artinya, sumpah itu dilakukan untuk meyakinkan diri sendiri atau seseorang tentang suatu tuduhan yang dilekatkan padanya itu tidak benar. Ajaran itu dibenarkan dalam Islam. Cuma pelaksanaannya seharusnya tidak sembarangan,” katanya, Selasa (10/11).

Ini sama saja berarti, sumpah atas nama Tuhan itu bisa dilakukan terutama ketika seseorang berada dalam keadaan mendesak. Sumpah bisa diucapkan ketika berada dalam saat-saat yang diperlukan. ”Nah, yang sekarang terjadi ini sumpahnya seperti apa? Perbuatannya apa?” kata Hasanuddin.

Guru Besar Fakultas Syariah ini melihat, kecenderungan yang terjadi, sumpah itu justru sering dilakukan sebagai alibi untuk mengaburkan masalah dan tuduhan. ”Apakah yang sebenarnya dia perbuat, sehingga dia mengeluarkan air mata dan bersumpah. Apakah sumpah itu bertentangan dengan hati nurani atau sebaliknya justru melakukan perbuatan yang disangkakan?” tanya Hasanudin.

Memang, sumpah itu pada akhirnya akan kembali pada setiap diri yang bersumpah. Karena, hanya mereka yang bersumpah-lah yang paling tahu tentang arti sumpahnya. Karena itu, akan berbahaya kalau sumpah tersebut dijadikan pedoman oleh hakim, sementara di dalam hati yang bersumpah, dia mengetahui bahwa sebenarnya dia berbohong. ”Kalau sudah begitu, hanya dirinya yang bersumpah dan Tuhan yang tahu. Apa yang diucapkan memang menjadi pertimbangan. Tapi kalau kemudian ada bukti lain, itu menjadi urusan dia dengan Tuhan. Dan sudah pasti ada risiko. Artinya, sejauh mana sumpah yang dilakukan berdasarkan kenyataan atau sebaliknya. Cuma sekali lagi, bagi hakim tentu akan menjadi pertimbangan,” kata Hasanudin.

Sekali lagi, Hasanudin mengatakan bahwa fungsi sumpah adalah untuk menolak apa yang disangkakan atau meyakinkan apa yang tidak diperbuat. Namun, “ketika banyak orang bersumpah”, itu sudah menunjukkan suatu gejala yang tidak sehat. ”Itu menunjukkan ciri-ciri masyarakat sedang sakit, yakni sakit mental dan moral. Sehingga semuanya berlindung pada asma Allah,” tegasnya.

Di Islam sendiri, sudah ada sejarah tentang sumpah atas nama Tuhan. Penyimpangan dan penyalahgunaan sumpah, ada hukum dan konsekuensinya.

Karena itu, ketika banyak orang bersumpah atas nama Tuhan, justru menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk membongkar mafia hukum. Sehingga, sumpah itu tidak berubah menjadi sumpah serapah karena orang tidak percaya pada hukum dan pengadilan. [inilah]

Nah, kelihatannya rada agak nyambung nih dengan tulisan yang kemarin, “Pembenaran Yang Aya-aya Wae”. Dengan tidak bermaksud su’udzon, sumpah mulai dipertontonkan buat meyakinkan publik, untuk tujuan pembenaran atas sebuah perbuatan. Bisa saja pembenaran itu untuk hal yang benar sehingga bisa diterima orang lain, atau juga pembenaran dari hal yang salah tapi ingin diterima benar oleh orang lain (manipulasi bukti dan opini serta argumentasi mengada-ada agar terlihat lebih meyakinkan atau barangkali menjadi terkesan lebih rasional).

Kebenaran bertahan lama, sementara pembenaran cepat atau lambat akan tersingkap kepalsuannya.

Kebenaran terkadang kurang populer, sedangkan pembenaran selalu mengandalkan popularitas. “dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga.” (al-An’am: 116)

Kebenaran melahirkan kebaikan, sedangkan pembenaran melahirkan kerusakan. Tentang akibat masyarakat yang menegakkan kebenaran Allah berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A’raf: 96)

Sedangkan tentang orang-orang munafiq Allah menceritakan bagaimana mereka memakai sumpah palsu untuk mendapatkan popularitas, Allah berfirman, “mereka (orang-orang munafiq) bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, Padahal Allah dan Rasul-Nya Itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin.” (at-Taubah: 62)

Allah SWT juga berfirman; “dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (Al-Baqarah: 204)

Kebenaran terkadang pahit dan tidak sesuai dengan hawa nafsu sedangkan pembenaran selalu mengikuti hawa nafsu. Kebenaranlah yang pada akhirnya bermanfaat di akhirat, sedangkan pembenaran hanya akan mempersulit hisab seseorang. Semoga Allah Ta’ala memberi petunjuk dan kekuatan pada kita semua untuk mengetahui dan mengikuti kebenaran di mana pun dan kapan pun. Amiin.

Allahu a’lam bishshowab,

Salam,

H. Umar Hapsoro Ishak