Ketika Banyak Orang Bersumpah

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya belum pernah menerima suap atau memaksa orang lain untuk memberikan suap atau pemerasan,” ujar M Jasin dalam petikan sumpahnya yang dilakukannya saat siaran langsung di TVone, Minggu (08/11) malam. Ia tidak lupa membacakan beberapa kalimat doa dalam bahasa Arab dalam sumpahnya tersebut. Seperti yang ditulis dalam artikel “Dibawah Alquran, M. Yasin Bersumpah Tak Terima Suap atau Memeras,” di Kompas.com, (Minggu, 08/11/09).

Tiga hari hari sebelumnya, Kom.Jen.Pol. Susno Duadji, bersumpah di hadapan Komisi III bidang hukum DPR RI, bahwa ia tidak pernah menerima uang terkait kasus Bank Century, “Lillahita’ala..saya tidak pernah terima uang terkait (kasus) Century,” ujar Susno, Kamis (5/11) malam.

Pernyataan mengejutkan yang dilontarkan Kombes Pol Wiliardi Wizard, kemarin (10/11) saat memberikan kesaksian dalam sidang terdakwa Antasari Azhar, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Wiliardi juga bersumpah, “Demi Alloh saya bersumpah, ini adalah skenario yang buat Direktur, Wakil Direktur, Kabag, kasat,” Belum lagi pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh orang-orang yang diduga terlibat kasus suap, ketika dimintai konfirmasi/kesaksian sehubungan dengan kasus suapnya, hampir semuanya selalu disertai sumpah. Kitapun diajak untuk berpikir, …. benarkah sumpah mereka itu? Lantas, apakah orang-orang yang bersumpah atas nama Allah dengan lafazh yang bervariasi, semisal “Demi Allah” dan lafazh-lafazh lainnya, Dilarang dalam agama?

Tidak dapat disangkal lagi bahwa, banyak bersumpah akan mengakibatkan pelecehan terhadap kedudukan Tuhan, Asma dan SifatNya, sebab si orang yang bersumpah ini telah mengagungkanNya terhadap urusannya tersebut. Maka, bilamana dia berdusta, itu artinya dia telah melecehkan Asma`Allah dan tidak lagi memuliakanNya. Tentunya, hal ini menafikan kesempurnaan tauhid. “Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, dia harus jujur (benar).”
Hasanudin AF, Guru Besar Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengatakan, bahwa fenomena bersumpah atas nama Tuhan, sebagai tanda adanya penyakit di masyarakat. Makin banyaknya orang yang terjerat kasus hukum dan bersumpah atas nama Tuhan boleh-boleh saja. Tetapi, ketika banyak yang melakukannya, itu suatu pertanda. Bahwa, suatu masyarakat sedang sakit mental dan moralnya.

Hasanudin AF mengungkapkan pendapatnya saat dimintai pandangan tentang banyaknya orang-orang bersumpah atas nama Tuhan di depan publik. Terutama, ketika banyak kasus-kasus hukum diungkap ke media massa. ”Di dalam Islam, sumpah itu ada ajarannya. Artinya, sumpah itu dilakukan untuk meyakinkan diri sendiri atau seseorang tentang suatu tuduhan yang dilekatkan padanya itu tidak benar. Ajaran itu dibenarkan dalam Islam. Cuma pelaksanaannya seharusnya tidak sembarangan,” katanya, Selasa (10/11).

Ini sama saja berarti, sumpah atas nama Tuhan itu bisa dilakukan terutama ketika seseorang berada dalam keadaan mendesak. Sumpah bisa diucapkan ketika berada dalam saat-saat yang diperlukan. ”Nah, yang sekarang terjadi ini sumpahnya seperti apa? Perbuatannya apa?” kata Hasanuddin.

Guru Besar Fakultas Syariah ini melihat, kecenderungan yang terjadi, sumpah itu justru sering dilakukan sebagai alibi untuk mengaburkan masalah dan tuduhan. ”Apakah yang sebenarnya dia perbuat, sehingga dia mengeluarkan air mata dan bersumpah. Apakah sumpah itu bertentangan dengan hati nurani atau sebaliknya justru melakukan perbuatan yang disangkakan?” tanya Hasanudin.

Memang, sumpah itu pada akhirnya akan kembali pada setiap diri yang bersumpah. Karena, hanya mereka yang bersumpah-lah yang paling tahu tentang arti sumpahnya. Karena itu, akan berbahaya kalau sumpah tersebut dijadikan pedoman oleh hakim, sementara di dalam hati yang bersumpah, dia mengetahui bahwa sebenarnya dia berbohong. ”Kalau sudah begitu, hanya dirinya yang bersumpah dan Tuhan yang tahu. Apa yang diucapkan memang menjadi pertimbangan. Tapi kalau kemudian ada bukti lain, itu menjadi urusan dia dengan Tuhan. Dan sudah pasti ada risiko. Artinya, sejauh mana sumpah yang dilakukan berdasarkan kenyataan atau sebaliknya. Cuma sekali lagi, bagi hakim tentu akan menjadi pertimbangan,” kata Hasanudin.

Sekali lagi, Hasanudin mengatakan bahwa fungsi sumpah adalah untuk menolak apa yang disangkakan atau meyakinkan apa yang tidak diperbuat. Namun, “ketika banyak orang bersumpah”, itu sudah menunjukkan suatu gejala yang tidak sehat. ”Itu menunjukkan ciri-ciri masyarakat sedang sakit, yakni sakit mental dan moral. Sehingga semuanya berlindung pada asma Allah,” tegasnya.

Di Islam sendiri, sudah ada sejarah tentang sumpah atas nama Tuhan. Penyimpangan dan penyalahgunaan sumpah, ada hukum dan konsekuensinya.

Karena itu, ketika banyak orang bersumpah atas nama Tuhan, justru menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk membongkar mafia hukum. Sehingga, sumpah itu tidak berubah menjadi sumpah serapah karena orang tidak percaya pada hukum dan pengadilan. [inilah]

Nah, kelihatannya rada agak nyambung nih dengan tulisan yang kemarin, “Pembenaran Yang Aya-aya Wae”. Dengan tidak bermaksud su’udzon, sumpah mulai dipertontonkan buat meyakinkan publik, untuk tujuan pembenaran atas sebuah perbuatan. Bisa saja pembenaran itu untuk hal yang benar sehingga bisa diterima orang lain, atau juga pembenaran dari hal yang salah tapi ingin diterima benar oleh orang lain (manipulasi bukti dan opini serta argumentasi mengada-ada agar terlihat lebih meyakinkan atau barangkali menjadi terkesan lebih rasional).

Kebenaran bertahan lama, sementara pembenaran cepat atau lambat akan tersingkap kepalsuannya.

Kebenaran terkadang kurang populer, sedangkan pembenaran selalu mengandalkan popularitas. “dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga.” (al-An’am: 116)

Kebenaran melahirkan kebaikan, sedangkan pembenaran melahirkan kerusakan. Tentang akibat masyarakat yang menegakkan kebenaran Allah berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A’raf: 96)

Sedangkan tentang orang-orang munafiq Allah menceritakan bagaimana mereka memakai sumpah palsu untuk mendapatkan popularitas, Allah berfirman, “mereka (orang-orang munafiq) bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, Padahal Allah dan Rasul-Nya Itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin.” (at-Taubah: 62)

Allah SWT juga berfirman; “dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (Al-Baqarah: 204)

Kebenaran terkadang pahit dan tidak sesuai dengan hawa nafsu sedangkan pembenaran selalu mengikuti hawa nafsu. Kebenaranlah yang pada akhirnya bermanfaat di akhirat, sedangkan pembenaran hanya akan mempersulit hisab seseorang. Semoga Allah Ta’ala memberi petunjuk dan kekuatan pada kita semua untuk mengetahui dan mengikuti kebenaran di mana pun dan kapan pun. Amiin.

Allahu a’lam bishshowab,

Salam,

H. Umar Hapsoro Ishak